Hujan Kemaren, Hari Ini, Esok, Lusa dan seterusnya…

“Sudahlah ukh, tidur di wisma aja. Besok pagi pulang..”

“Kami yakin anti aman, tapi kalo akhirnya sakit gimana?”

“Mba, udah sampe rumah?”

“Dah sampe rumah kk?”

“Mba, basah kuyup ga?”

Hmm… Sekelumit kata-kata dari akhwat pada suatu malam yang akan menemui akhirnya 1 jam kemudian karena berganti dengan hari yang baru. Malam itu dengan rezeki Allah yang melimpah (ujan lebat maksudnya) ana mantapkan azzam (jiaah, hehe..) untuk tetap pulang ke rumah. Afwan khabir ya ukhtifillah telah membuat antuna khawatir. Dan jazakillah telah meridhoi ana pulang, walau antuna melepas ana dengan berat hati. Hee…

Ukhtina sayang…

Ana bulatkan tekad untuk tetap menerobos tirai air bukan tanpa alasan. Ada satu hal yang ana pikirkan ketika menyalakan motor dan saat itu langit sudah menumpahkan bebannya perlahan-lahan. Ana sangat ingin mencoba berjalan diantara tetesan hujan yang membara. Ana sangat ingin melihat kehidupan malam dengan temaram lampu-lampu kota ketika diguyur hujan. Ana sangat ingin menikmati kesempatan yang tak tau ntah kapan lagi datangnya.

Karena dari awal yakin, bahwa perjalanan ini tidak akan sia-sia. Dan apapun jenis perjalanannya, satu hal yang ana yakini, pasti tidak akan pernah ada yang sia-sia.

Antuna tau apa yang ana dapatkan..?

Hmm.. Sepanjang perjalanan masih ada beberapa kendaraan (roda 4 tepatnya) yang menggunakan fasilitas jalanan (apaan sih?! he). Dan tak banyak yang memakai motor. Beberapa halte diisi juga oleh beberapa pengendara motor yang ingin berteduh.

Yang ana pikirkan ketika itu adalah, banyak orang yang bersedia melewati badai ketika ada jaminan fasilitas dan perlindungan yang didaptkannya. Namun ketika fasilitas dan jaminan itu tak ada, maka ia akan berhenti melangkah dan lebih memilih untuk tak melakukan apa-apa.

Ada juga ana liat mereka-mereka yang berteduh, hanya saja ada lintasan pikiran hinggap (hap!) di kepala. “Sampai kapan mereka kan berhenti?. Sampai hujan reda? Kapanlah hujan kan reda? Kalopun reda dan hujan kembali, berapa kali harus berhenti hanya karena hujan? Tidak, tidak… Bukan karena hujan, tapi karena TAKUT KENA hujan.”

Padahal hujan bukanlah penghalang. Hujan bukanlah rintangan untuk terus bergerak dan melangkah. Bagi ana, berhenti karena hujan tak mendapatkan pembenaran dihadapan nurani. Justru ia adalah rahmat, seluas-luas rahmat dan barokah bagi yang menerimanya. Maka harus terus melangkah, karena sederas-derasnya hujan, pasti kan kita temui satu titik dimana kita bisa melihat pelangi. Itulah tujuan… Pilihannya hanya dua, berhenti dan memperlama perjalanan menuju pelangi, atau mempercepat langkah dengan persiapan sebelumnya untuk bersegera menyambut pelangi… Semua tergantung kita…

Hmm… Sepantasnya-lah, sebelum hujan turun, sudah ada persiapan jiwa raga untuk menyambutnya dengan kehangatan. Menolaknya bukanlah hal yang tepat, apalagi mengutuk dan menyesali kehadirannya. Karena suka ato tidak, ia kan tetap bertamu menyambut sang hari…

Hmm… Ukhtina..

Juga ana merasa sakitnya kulit ditimpa batu-batu air. Tapi, semakin ana sentuh bagian yang merasa sakit, maka ana merasa bagian itu semakin meminta belas kasihan. Minta terus ‘diredakan’ sakitnya. Baiklah… Ana pikir cukuplah sudah ‘memanjakannya’, karena terus mengusapnya hanya memperlambat langkah mengejar matahari. Sakitnya ia sekarang, tentu tak lebih sakit dari hujan batu bara di neraka kelak. Astagfirullah… Lindungi kami Ya Allah…

Itulah hujan…

Hujan kemaren, hari ini, esok, lusa dan seterusnya, ia tetaplah hujan, yang menjadi sunatullah. Dan ia bukan musibah, tetapi sesungguhnya ia berkah. Itulah ujian (hujan). Dan itulah keyakinan yang slalu menghadirkan persiapan-persiapan…

 

Alhamdulillah… Hujan malam itu, mengantarkan hikmah… 🙂